Selasa, 08 Mei 2012

Munasabah Cinta

Standard
Oleh: Aa_Kaslan

Picture Credit: Laila-Jihad
Nabil masih bingung apa yang harus ia lakukan, sudah tiga kali ia menuliskan nomer Syarif di HP-nya. Namun, perasaannya yang tak juga ia mengerti itu selalu membuatnya ciut untuk menelfonnya walau hanya sekedar menanyakan kabar untuk basa-basi atas rasa rindunya. Rindu? Oh, Tuhan. Apa ia Nabil merindukan sosok pemuda jangkung pemilik senyum ogah itu? Apa ia Nabil merindukan Syarif, mahasiswa fakultas tarbiyah itu?
Sungguh seperti yang pernah Layla Majnun lakukan – cinta itu datang atas perasaan yang suci dan memenjarakan hati.
Oh, Tuhan... cinta!
“Tidak! Ini bukan cinta” berang hatinya. HP-nya dimainkan dalam genggamannya. Bingung. Sungguh untuk malam ini Nabil menjadi wanita tegar yang tiba-tiba saja menjadi wanita labil. Ia tidak lagi bisa membuat hatinya tentram seperti dulu, saat matanya belum pernah melihat sosok Syarif.
Diambilnya sebuah novel islami yang kemaren dibelinya saat ikut Farah, adiknya ke toko buku. Novel dengan cover seorang wanita berkerudung putih yang nampak sedang menatap langit sore itu tiba-tiba memacu andrenalinnya. Bukan karena judul bukunya ‘Sosok B­idadariku’. Tetapi, Syarifudin El-Jauhary. Nama penulis itu yang telah merobohkan panji-panji rasanya dan membordardir jantungnya untuk memompa lebih deras darahnya ke nadi-nadi yang menyusun tubuhnya.
Di tatapnya lekat-lekat novel di tangannya serta dibacanya berulang kali nama penulisnya hingga tanpa ia sangka hatinya berucap lirih, yang sungguh diluar kendalinya, “Andai bidadari di dalam ceritamu ini adalah diriku? Betapa beruntungnya aku terlahir sebagai wanita”
Setelah ia sadar hatinya berucap sedemikian, ia langsung menarik nafas panjang dan melepasnya bersama ketidak percayaannya, “sungguh itu bukan aku yang mengatakan, ya Allah...” kemudian diletakkan novel 271 halaman itu dan direbahkan tubuhnya. Ia atur nafasnya yang terasa berat dan sedikit tersengal-sengal.
***
: Bila kau datang atas nama cinta yang Tuhan berikan. Maka aku siap ditakdirkan sebagai Adam yang Allah jadikan dirimu dari tulang rusukku yang hilang. Namun, jikapun kau bukan yang Allah takdirkan, aku akan selalu membawa namamu dalam sujudku untuk merayu Tuhan.
Setelah mandi dan siap berangkat, Nabila terbelalak saat membaca beberapa kalimat di dalam novel itu, bahkan hampir saja ia salah meletakkan gelas tehnya. Tiga kali ia mengulang bacaan itu hingga ia hafal betul.
: Bila kau datang atas nama cinta yang Tuhan berikan. Maka aku siap ditakdirkan sebagai Adam yang Allah jadikan dirimu dari tulang rusukku yang hilang. Namun, jikapun kau bukan yang Allah takdirkan, aku akan selalu membawa namamu dalam sujudku untuk merayu Tuhan. 
“Subahanallah... ternyata ia lelaki yang romantis secara islami” lagi-lagi narulinya lirih berucap.
“Kak Nabil... Farah nebeng ya? Motor Farah bannya bocor, sekarang Farah ada praktekum. Boleh ya?”
Suara Farah dari ruang tamu membuyarkan lamunannya, “Iya, iya... tunggu sebentar” Nabil lekas memungut tas dan tidak lupa memasukkan novel itu ke dalam tas abu-abunya.
***

“Kakak baca apaan? Sampek segitunya...”
Di sore yang ranum dengan awan yang siap membawa suara renyek hujan, Farah tiba-tiba masuk ke kamar kakaknya yang sedang asik membaca novel sembari membayangkan Tias, wanita dalam cerita novel di tangannya adalah dirinya hingga ia tidak sadar Farah sudah mencolek tubuhnya sambil menceracau dengan keluguannya.
“Ah... pengen tahu ajah”
Farah memonyongkan bibirnya, “heemm... kakak lagi jatuh cinta ya?”
“Yah! sok tahu mulu. Udah sana! Kakak mau belajar” sergah Nabila yang benar-benar tidak ingin di ganggu siapapun.
“Yaaah kakak...” Farah ogah mau berlalu
“Apa lagi adiknya yang cantiiik?”
Farah tersenyum mendengar kakaknya sampek segitunya, iapun paham kalau kakaknya benar-benar tidak ingin ia ganggu. Farah pun berlalu, “ia, ia Farah akan pergi. Tapi, bagi kuenya yaa kak”
“Ya, ambil aja semuanya”
Asyeek asyeek
: Tias... jika memang dirimu adalah takdirku. Entah esok, lusa, minggu depan, bulan depan dan tahun depan. Allah pasti merakit daun cintaku pada daun cintamu untuk membuat tikar di tempat pelaminan kita. Aku yakin dengan hal itu.
“Syarif... inilah hatimu yang sebenarnya? Inikah kedalaman dari senyummu yang memberontak itu? Ternyata dibalik sesuatu yang aku tidak tahu, dirimu adalah sosok yang sempurna”
Setelah membaca sepenggal catatan malam Faris, sosok laki-laki pendiam di dalam novel itu, tanpa kompromi hati Nabila berucap lirih. Dan kali ini Nabila tidak bisa lagi berbohong pada dirinya jika ia mencintai Syarif, lelaki yang teramat jutek and no smile to her. Iapun hanya mampu diam diantara tempiasan air hujan yang menabrak jendela kamarnya dengan cipratan. Ters ters ters.
Dan dalam hatinya ia berdoa kepada Allah, “Ya Allah... jika membayangkan sosoknya adalah zina bagi hati hamba, ampunilah hamba. Namun, jika membayangkan sosoknya adalah nikmat yang engkau berikan, jadikanlah hamba wanita yang kelak akan selalu menggelarkan sajadah untuknya dalam setiap sholatnya, amin”
Adzan magrib menggema dan ia baru teringat bahwa kali ini ia mempunyai janji kepada Nur, teman SMA-nya yang memintanya datang ke acara pertungannya. Nabila segera bangkit untuk melaksanakan sholat dan berangkat ke rumah Nur untuk menepati janjinya segaligus menyembuhkan kerinduannya kepada Nur yang sudah tiga tahun tidak ada kontak karena Nur  setelah lulus SMA langsung keluar kota ikut ayahnya.
***
Sesampainya di rumah Nur, Nabila di sambut dengan pelukan hangat oleh Nur, “Nabilaaa... gimana kabarmu?”
“Alhamdulillah, baik Nur. Kamu sendiri bagaimana?”
“Seperti yang kamu lihat kali ini, aku sehat dan masih Nur yang dulu...” keduanya pun tertawa lepas hingga melupakan orang-orang di sekitar yang saat ini membawa bola matanya kepada mereka berdua. Nur hanya tersenyum sambil sedikit membungkuk pada semua orang yang ada.
Sambil berjalan kedalam rumah, Nur memperkenalkan seorang cowok berkacamata minus kepada Nabila, “itu kakak tiriku, katanya kuliah di UIJ, kalo tidak salah Fakultas Agama Islam”
“Oh...” serasa ada yang mengetuk hatinya, Nabila kembali melihat seorang lelaki dengan jaz hitam yang sedang duduk manis di meja tamu bersama beberapa orang yang tidak asing dimatanya.
“Loh!”
“Loh kenapa, Bil?” Nur bertanya heran.
“Diakan Syarif”
“Kamu kenal kakakku?” tanya Nur, lalu memanggil kakaknya yang nampak sedang asik ngobrol dengan Rozaq dan Fikri, ketua salah satu organisasi di kampus yang mungkin sekelas dengan Syarif.
Jantung Nabila tiba-tiba berdetak semakin keras dan keningnya pun mengeluarkan keringat dingin, wajahnya yang memerah membuatnya salah tingkah saat Syarif menghampiri adiknya.
“Ada apa, dek?”
“Perkenalkan, kak. Dia temen SMA Nur, namanya...”
“Nabila Syakib” sambung Syarif.
Nabila kaget mendengar Syarif tahu nama panjangnya, jantungnya semakin berdetak keras. Wajahnya di tundukkan.
“Loh! Kok kakak tahu? Kakak sudah saling kenal ya?”
“Siapa yang enggak kenal aktifis kampus sekaliggus penulis seperti dia, dek”
Apa!? Tidak, tidak mungkin ia tahu aku seorangg penulis seperti dirinya? Dari mana ia tahu? Sedangkan dalam setiap karyaku yang terbit, aku hanya menyertakan nama penaku? Dan selama ini aku tidak pernah melampirkan fotoku? Kenapa ia bisa tahu?
“Mungkin Nabila tidak pernah bercerita kepada adek bahwa beberapa anak dari jari-jemari manisnya sudah sudah besar-besar di Gramedia. Ibnul Fajr, anak fajar yang luar biasa...” Syarif berucap sambil geleng-geleng kepala, kagum.
“Wah! Nabil?” Nur setengah berteriak, “ternyata kamu sudah suksess. Apa yang kamu impikan di SMA dulu sudah tercapai”
Nabila tersenyum dengan raut wajah semakin merah.
Syarif pun membacakan penggalan kalimat dari buku Ibnul Fajr yang tak lain adalah nama pena Nabila Syakib, “Tuhan, bila cinta itu datang karena perintah-Mu. Maka sudikanlah hamba menjadi wanita baik yang antara siang dan malam-Mu selalu ada untuknya dalam keadaan tersenyum dan ceria, serta tumbuhkanlah dengan sesubur-suburnya cinta di hati hamba hanya untuknya karena mengharap ridho-Mu”
            Kali ini hati Nabila serasa runtuh dari kediaman di dadanya, ia serasa tenggelam dalam lautan cinta yang membuatnya tak lagi bisa berbuat apa-apa. Nabila hanya mampu menundukkan kepala. Diam. Diam dan diam.
***
            Tengah malam. Nabila bangun dengan dada masih bergemuruh deras, kalimat yang begitu polos tersaji dari mulut Syarif terus tergiang-giang mendengung suling di labirinnya.
            Ia mengambil udhu’ dan sholat tahajjud, dalam sujud terakhir ia selalu meminta kekuatan iman dan jodoh yang akan membawanya ke tempat terindah dalam tingginya gunung ridho-Nya. Sebab menurutnya, tiadalah cinta itu akan membawa kita pada taman cinta yang membahagiakan dan barokah jika bukan karena ridho-Nya.
            Sedangkan di tempat berbeda. Syarif masih belum bisa memejamkan mata. Ia masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan esok. Kepada orang tuanya selepas pertungan Nur kemaren ia memberitahukan bahwa ia akan segera menyusul Nur. Meminang seorang wanita yang selama ini mengetuk pintu hatinya dengan tulisan-tulisan jemarinya lentiknya.
            Namun sungguh! Ini di luar akalnya.
            : Cinta itu seperti indah sesuatu yang kau pandang: baik itu Bintang, Rembulan, Pelangi, Senja dan tarian Ilalang. Tiba-tiba saja mengetuk pintu hatimu; menentramkan gejolak jiwamu, mendinginkan kepalamu. Dan disaat seperti itu, kamu tidak akan pernah mau waktumu ditukar apapun, sebab kamu selalu berfikir bahwa itu adalah hal yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi dalam hidupmu.
            Perlahan.
            Syarif menganggukkan kepalanya, “kamu benar, Bil. Cinta itu adalah milik hati yang tak pernah kita tahu datang dari arah mana. Saat inipun aku masih bingung, dari mana suratan cinta darimu ini? Sebab yang aku tahu hanyalah keindahan. Tunggu cintaku esok, Bil”
            Waktu seakan berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja mentari telah duduk manis di kursi pagi yang ranum. Syarif kaget, bahkan hampir saja ia telat melaksanakan sholat shubuhnya.
“Astagfirullah!”
            Lalu setelah berdoa, ia menikmati pagi nan ranum sembari memotivasi hatinya yang kacau balau. Sore nanti ia akan mendatangi kediaman Nabila untuk menghitbahnya, mengkelaikan rasa yang ia miliki pada seorang yang dianggapnya sebagai seorang yang tetap untuknya. Seorang yang Syarif yakini adalah ibu dari buah hatinya kelak; tambatan hati yang siap bersamanya dalam suasana apapun.
***
            Nabila kaget saat membuka pintu rumahnya melihat Syarif, Nur dan keluarganya. Namun, selayaknya tuan rumah yang baik, ia segera membuang jauh-jauh rasa kaget itu lalu segera memperilahkan masuk.
            “Siapa kak?” tanya Fara pada Nabila saat mengambilkan air minum.
            “Nur...”
            “Oooh...,” Fara mengintip ruang tamu, keningnya berlipat-lipat seperti sarung ya    ng kucel tidak pernah di sentrika, “tapi kok sekeluarga kak? Ada apa ya?”
            “Mau silatulrahmi kali dek”
            “Oh....”
Nabil mengaduk teh, sedangkan Fara kembali mengintip. Iapun heran dengan raut muka seorang laki-laki dengan baju koko putih yang duduk di samping Mbak Nur, yang selama ini ia kanal karena dulu sering sekali belajar bersama dengan Nabila, kakanya. Wajah lelaki itu mengisyaratkan sesuatu yang membuatnya tegang berada di dalam rumah ini, beda dengan Mbak Nur, Uminya dan Ayahnya yang terlihat sangat refresh , tawa-tawa kecil tumbuh di bibirnya.
            Fara mencubit lengan Nabil. “Cowok yang duduk di dekat Mbak Nur itu siapa kak?”
            “Syarif, kakaknya Nur”
            “Dia terlihat tegang dan gelisah kak”
            “Ah! Kamu kalo suruh ngomong, udah! Ayo bantuin kakak bawa tehnya keluar” Nabila membawa nampan keluruang tamu di ikuti Fara.
            Setelah meletakkan gelas-gelas teh di depan keluarga Nur. Umi memegang tangan Nabila.
            “Duduk sini”
            Nabil duduk di samping Uminya dengan tatapan mengarah kelantai, sedangkan Syarif dengan rasa gelisah dan tegangnya mencoba mencuri pandang.
            Sunyi.
            Tidak ada yang angkat bicara.
            Hingga pada akhirnya Aba Abdullah, ayah Nabila berucap, “Nabila..., hari ini adalah hari bahagia bagi dirimu,” Aba menarik nafas masyqul.
            “Syarif, lelaki di depanmu datang kesini untuk mencari tulang rusuknya yang hilang, Nak. Dan ia yakin kamulah orangnya. Aba tidak memaksa... semuanya terserah kamu, jika kamu yakin ia adalah imam yang Allah berikan untukmu....”
            “Aba...” Nabila memotong Ayahnya dengan tetap menunduk. Semua mata pun segera menujunya seperti camera-camera wartawan yang sedang meliput kasus korupsi di negeri ini yang terus bertunas. Tajam penuh tanda tanya.
            “Seperti yang pernah Aba ajarkan kepadaku tentang cinta. Cinta itu adalah kerajaan terindah yang bertempat di hati nurani dan lahir atas nama fitrah manusia sebab kasih sayang Allah, dan jika cinta yang ada dalam hati Syarifudin El-Jauhary adalah cinta yang datang atas nama fitrah serta atas dasar mencari ridho-Nya. Maka, saya akan selalu berdoa kepada Allah agar cinta yang aku miliki selama ini adalah jawaban untuknya”
            Nabila menarik nafas.
Semua mata yang ada di ruang tamu tidak ada yang berkedip.
            “Namun...”
_`0`_

0 komentar:

Posting Komentar

Post Comment