Senin, 26 Maret 2012

Tentang Puisi dan Puitis

Standard
Picture Credit: zebr

oleh: Farick Ziat 

Apa bedanya puisi dan puitis?
Pertanyaan ini sering terlontar dan kerap dengan nada menggugat. Terutama oleh seseorang penulis yang mencoba menulis puisi, namun saat memamerkan karyanya dikomentari dengan singkat saja: Ini bukan puisi, tapi hanya sekumpulan kata-kata puitis. Dan inilah puisi yang ditulisnya…  

GELORA RINDU

wahai sang rembulan 
aku rindu belaian 
cintaku yang tersimpan 
pada sang pujaan  

andai saja ia tahu 
betapa hati ini merindu 
menggelora di dalam kalbu 
yang telah lama membeku  

Mengapa hanya dinilai puitis dan tak diakui sebagai puisi? Secara bentuk ini sudah mutlak benar sebagai puisi. Lihat, betapa bagus bentuknya. Tiap bait terdiri dari empat larik. Bait pertama rapi menggunakan akhiran “an” dan baik kedua “u”.  

Masalahnya, puisi tak hanya dinilai dari bentuk yang bisa saja terdiri dari tiga atau empat larik dan 
persamaan bunyi pada akhiran. Tapi, banyak unsur lain yang menjadi penilaian. Ada unsur IMAJI yang membuat larut seusai membacanya dan menjadi pintu gerbang untuk memasuki ruang pencarian makna yang tersirat dalam lariknya . Ada DIKSI yang harus terasa personal dan menghindari kesan klise, juga cerdas dalam menggunakan metafora. Ada MAJAS ( gaya bahasa ungkap) yang merangsang pembaca untuk merenung. Ada PESAN yang tersurat sekaligus tersirat . Ada RIMA / NADA yang indah saat dibaca.  

Maka, wajarlah jika GELORA RINDU itu hanya mendapat label puitis. Dia tak merangsang pembacanya untuk berimajinasi. Diksinya “pasaran”. Majasnya seperti anak sekolah yang mendapat tugas dari guru bahasa.  

Jadi, apa bedanya puisi dan puitis? 

Kalian pasti bisa merasakan dan membedakannya. Bisa saja, jangan-jangan, menurut kalian tak ada bedanya. Itu sah-sah saja.  

Maka, jangan ragu, ungkapkan jawabanmu.  

Salam 

Kaefzet

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Post Comment