Apa bedanya puisi dan puitis?
Pertanyaan ini
sering terlontar dan kerap dengan nada menggugat. Terutama oleh seseorang
penulis yang mencoba menulis puisi, namun saat memamerkan karyanya dikomentari
dengan singkat saja: Ini bukan puisi, tapi hanya sekumpulan kata-kata puitis.
Dan inilah puisi yang ditulisnya…
GELORA RINDU
wahai sang rembulan
aku rindu belaian
cintaku yang tersimpan
pada sang pujaan
andai saja ia tahu
betapa hati ini merindu
menggelora di dalam kalbu
yang telah lama membeku
Mengapa hanya dinilai puitis
dan tak diakui sebagai puisi? Secara bentuk ini sudah mutlak benar sebagai
puisi. Lihat, betapa bagus bentuknya. Tiap bait terdiri dari empat larik. Bait
pertama rapi menggunakan akhiran “an” dan baik kedua “u”.
Masalahnya, puisi tak hanya
dinilai dari bentuk yang bisa saja terdiri dari tiga atau empat larik dan
persamaan bunyi pada akhiran.
Tapi, banyak unsur lain yang menjadi penilaian. Ada unsur IMAJI yang membuat
larut seusai membacanya dan menjadi pintu gerbang untuk memasuki ruang
pencarian makna yang tersirat dalam lariknya . Ada DIKSI yang harus terasa
personal dan menghindari kesan klise, juga cerdas dalam menggunakan metafora.
Ada MAJAS ( gaya bahasa ungkap) yang merangsang pembaca untuk merenung. Ada
PESAN yang tersurat sekaligus tersirat . Ada RIMA / NADA yang indah saat
dibaca.
Maka, wajarlah jika GELORA
RINDU itu hanya mendapat label puitis. Dia tak merangsang pembacanya untuk
berimajinasi. Diksinya “pasaran”. Majasnya seperti anak sekolah yang mendapat tugas
dari guru bahasa.
Kalian pasti bisa merasakan dan
membedakannya. Bisa saja, jangan-jangan, menurut kalian tak ada bedanya. Itu
sah-sah saja.
Maka, jangan ragu, ungkapkan
jawabanmu.
Salam
Kaefzet
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar