Senin, 26 Maret 2012

Uang Untuk Amir

Standard

Oleh: Kamal Agusta

Picture Credit: ValentinaAniston 
Hitam masih setia membungkus langit. Malam sudah lama membayang. Bahkan mulai beranjak untuk pergi. Seorang wanita dengan sebuah gendongan di punggung berjalan tertatih. Memapakkan kaki menuju tenda penjual makanan yang ramai di datangi pembeli. Kepalanya yang terbungkus jilbab hitam kontras dengan wajahnya yang pucat pasi. Baju yang melekat di tubuh kurusnya lusuh dan usang. Tangannya memegang bungkus plastik dan kayu yang dipaku dengan tutup-tutup botol. Aminah. Begitulah namanya.
"Permisi Bapak dan Ibu sekalian. Izinkan saya menemani waktu makan Bapak dan Ibu dengan sebuah lagu. Semoga lagu ini bisa menghibur."
Tanpa persetujuan para pengunjung, Aminah mulai melantunkan sebuah lagu.
"Cepatlah-cepat wahai sahabat jangan sampai kau terlambat. Taubatlah-taubat wahai sahabat jangan sampai kau tersesat," Aminah mulai bernyanyi.
Lagu ‘Taubatlah-taubat’ yang dipopulerkan Syahrini itu mulai mendominasi ruangan tenda yang sempit. Suara kerincing ikut mengiringinya. Sesekali terdengar suara berdentang dari piring yang beradu dengan sendok.
Bait demi bait lirik lagu terus meluncur dari bibir mungil Aminah. Suaranya syahdu dan lembut. Para pengunjung terlihat sangat menikmati. Bahkan ada beberapa orang yang menatap kagum ke arahnya.
"Jangan terbuai, jangan terlena, jangan terlupa, dan sadarilah.... "
Aminah masih bernyanyi. Ia mulai mendatangi meja-meja pengunjung. Menyodorkan sebungkus plastik. Meminta recehan. Beberapa pengunjung tersenyum memberikan recehan ketika Aminah mendatangi meja mereka. Namun, ada juga yang cuek. Jangankan memberi recehan, menoleh saja enggan. Setelah lagu telah sampai bait terakhir dan semua meja telah ia datangi, Aminah kembali ke tempatnya semula datang.
"Terimakasih atas pemberian Bapak dan Ibu. Semoga diberi balasan oleh Tuhan Yang Esa," ucap Aminah dengan senyuman. Setelah itu ia beranjak meninggalkan tenda. Mencari tenda makanan lain.
Di bawah sebuah pohon, Aminah berhenti. Ia menurunkan gendongan yang merupakan buah hatinya. Amir, bocah berumur 5 tahun. Aminah menghela napas sejenak. Mengistirahatkan punggungnya yang terasa remuk.
Bunyi kriuk menggema dari Perut Aminah. Ia meremas perutnya yang kelaparan. Sejak pagi belum ada satu butir nasi pun yang masuk ke mulutnya. Hanya air putih yang ia teguk -hasil minta kepada pemilik tenda yang ia datangi- yang masuk ke kerongkongannya untuk menganjal rasa lapar.
Aminah memeriksa kantong uangnya. Menuangkan isinya yang berupa kepingan uang lima ratus dan lembaran seribu yang kumal di atas roknya. Aminah menghitung hasil mengamennya hari ini.
"Alhamdulillah. Terimakasih atas rezeki-Mu hari ini, yah, Allah," ucap Aminah penuh syukur. Ia selalu berterimakasih kepada Allah meski pendapatannya hari ini cuma Rp 12.500,00.
Amir menggeliat lalu perlahan matanya mengerjap. Ia menguap sekejap dan menoleh ke arah ibunya, Aminah.
"Ibu... lapar," rengek Amir dengan suara mungilnya. Airmata jatuh membasahi pipi mulusnya menahan lapar.
Aminah tertegun melihat buah hatinya menangis. Kristal beningnya ikut retak. Butir airmata mencuat di pelupuk matanya. Hatinya terasa perih melihat penderitaan yang sudah dialami anaknya.
"Sayang, kita akan cari makanan sekarang. Jangan menangis, yah." bujuk Aminah.
Amir mengangguk sambil sesegukan. Telapak tangan kecilnya mengusap airmata. Aminah kembali menggendong Amir. Dengan langkah yang mulai lemah, Aminah membawa buah hatinya ke tenda makan terdekat.

Tentang Puisi dan Puitis

Standard
Picture Credit: zebr

oleh: Farick Ziat 

Apa bedanya puisi dan puitis?
Pertanyaan ini sering terlontar dan kerap dengan nada menggugat. Terutama oleh seseorang penulis yang mencoba menulis puisi, namun saat memamerkan karyanya dikomentari dengan singkat saja: Ini bukan puisi, tapi hanya sekumpulan kata-kata puitis. Dan inilah puisi yang ditulisnya…  

GELORA RINDU

wahai sang rembulan 
aku rindu belaian 
cintaku yang tersimpan 
pada sang pujaan  

andai saja ia tahu 
betapa hati ini merindu 
menggelora di dalam kalbu 
yang telah lama membeku  

Mengapa hanya dinilai puitis dan tak diakui sebagai puisi? Secara bentuk ini sudah mutlak benar sebagai puisi. Lihat, betapa bagus bentuknya. Tiap bait terdiri dari empat larik. Bait pertama rapi menggunakan akhiran “an” dan baik kedua “u”.  

Masalahnya, puisi tak hanya dinilai dari bentuk yang bisa saja terdiri dari tiga atau empat larik dan 
persamaan bunyi pada akhiran. Tapi, banyak unsur lain yang menjadi penilaian. Ada unsur IMAJI yang membuat larut seusai membacanya dan menjadi pintu gerbang untuk memasuki ruang pencarian makna yang tersirat dalam lariknya . Ada DIKSI yang harus terasa personal dan menghindari kesan klise, juga cerdas dalam menggunakan metafora. Ada MAJAS ( gaya bahasa ungkap) yang merangsang pembaca untuk merenung. Ada PESAN yang tersurat sekaligus tersirat . Ada RIMA / NADA yang indah saat dibaca.  

Maka, wajarlah jika GELORA RINDU itu hanya mendapat label puitis. Dia tak merangsang pembacanya untuk berimajinasi. Diksinya “pasaran”. Majasnya seperti anak sekolah yang mendapat tugas dari guru bahasa.  

Jadi, apa bedanya puisi dan puitis?