Senin, 30 April 2012

Iqro Bismi Robbik : Sulit Untuk Tak Jatuh Cinta

Standard
Bp. Ahmad Tohari [penulis Ronggeng Dukuh Paruk]
dalam acara Workshop Secoteng di Yogyakarta
Ketika melewati Malioboro kali ini, sensasi yang dirasakannya tidak seperti waktu dulu dia pernah beberapa kali menikmatinya. Ada apa, pikirnya. (belakangan dia paham karena menurut seseorang, ini mungkin karena spiritualitasnya meningkat sehingga tidak lagi mudah tergoda seperti dulu. oh ya? mungkin juga)

Meski begitu Jogja masih se-eksotis yang dia kenal dan rasai. Persinggungannya beberapa kali  dengan kota ini dalam misi jalan-jalan , budaya ataupun intelektual, masih menempatkannya sebagai salah satu kota yang sulit untuk tidak dijatuhcintai.

Seperti sama sulitnya untuk tidak jatuh cinta dengan seorang legenda yang ditemuinya hari ini. Bapak Ahmad Tohari penulis Ronggeng Dukuh Paruk. Betapa beruntungnya dia karena sempat secara personal duduk bersama, berbincang dan bapak berkenan membuka serta membaca sekilas salah satu buku perempuan itu. Serta membahasnya dengan antusiasme yang tidak dia perkirakan sebelumnya.

“ah, kamu bahkan sudah melampaui saya dalam hal ini. Belakangan ini saya baru mulai. Dan ini benar. Bahwa semua yang ada di sekitar kita ini, benda-benda ini, materi ini, yang kita lihat, sentuh, semuanya hanyalah maya. “ kata bapak sambil menyentuh benda –benda di sekitarnya. Dia, perempuan yang terkesima dengan uraian-uraian selanjutnya dari sang bapak, semakin jatuh cinta saja pada bapak yang satu ini. Dan cintanya semakin jatuh ketika bapak berkata,
“saya punya pesan khusus untuk kamu. Jaga dan terus pertahankan eksistensialisme-mu”
Jleb!

Ketika bapak berbicara di depan audience mengisi acara workshop hari itu, si perempuan kembali terkesima karena bapak kembali menotice dirinya (bahkan menyebut kotanya..ehm..) di sela –sela uraian sang bapak.
IQRO’ BISMI ROBBIK

Berikut secara lengkap uraian bapak yang ditulis kembali olehnya dengan bahasanya sendiri:
Satu tujuan saya menulis Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) adalah melahirkan. Karena saya sudah hamil selama lima belas tahun.

Semua berawal di tahun 1964, ketika saya duduk di kelas 2 SMA. Hobi memburu burung membawa saya pada salah satu dataran agak tinggi. Yang suatu ketika, saya menyaksikan seorang perempuan tanpa busana sedang mandi di pancuran di bawah beringin.

Bayangan perempuan yang seorang ronggeng, istri simpanan seorang pejabat itu, terus menggelayut di kepala saya. Sehingga imajinasi saya liar ke mana-mana. Tahun 1965, perempuan yang saya gandrungi itu ditangkap dan ditahan. Ada gejolak luar biasa dalam diri saya karena tak mungkin seorang ronggeng bersinggungan dengan dunia politik. Bersamaan dengan itu, saya melihat secara langsung pembunuhan –pembunuhan yang dilakukan bangsa ini terhadap sesame saudara sebangsa sendiri. Rasa kemanusiaan saya bangkit, saya marah. Bullshit. Sejak itu saya kehilangan rasa hormat terhadap bangsa ini. Bangsa yang telah kehilangan rasa sopan dan kemanusiaan.