Oleh: Kamal Agusta
Picture Credit: ValentinaAniston |
"Permisi Bapak dan Ibu sekalian. Izinkan
saya menemani waktu makan Bapak dan Ibu dengan sebuah lagu. Semoga lagu ini
bisa menghibur."
Tanpa persetujuan para pengunjung, Aminah mulai
melantunkan sebuah lagu.
"Cepatlah-cepat wahai sahabat jangan
sampai kau terlambat. Taubatlah-taubat wahai sahabat jangan sampai kau
tersesat," Aminah mulai bernyanyi.
Lagu ‘Taubatlah-taubat’ yang dipopulerkan
Syahrini itu mulai mendominasi ruangan tenda yang sempit. Suara kerincing ikut
mengiringinya. Sesekali terdengar suara berdentang dari piring yang beradu
dengan sendok.
Bait demi bait lirik lagu terus meluncur dari
bibir mungil Aminah. Suaranya syahdu dan lembut. Para pengunjung terlihat
sangat menikmati. Bahkan ada beberapa orang yang menatap kagum ke arahnya.
"Jangan terbuai, jangan terlena, jangan
terlupa, dan sadarilah.... "
Aminah masih bernyanyi. Ia mulai mendatangi
meja-meja pengunjung. Menyodorkan sebungkus plastik. Meminta recehan. Beberapa
pengunjung tersenyum memberikan recehan ketika Aminah mendatangi meja mereka.
Namun, ada juga yang cuek. Jangankan memberi recehan, menoleh saja enggan.
Setelah lagu telah sampai bait terakhir dan semua meja telah ia datangi, Aminah
kembali ke tempatnya semula datang.
"Terimakasih atas pemberian Bapak dan Ibu.
Semoga diberi balasan oleh Tuhan Yang Esa," ucap Aminah dengan senyuman.
Setelah itu ia beranjak meninggalkan tenda. Mencari tenda makanan lain.
Di bawah sebuah pohon, Aminah berhenti. Ia
menurunkan gendongan yang merupakan buah hatinya. Amir, bocah berumur 5 tahun.
Aminah menghela napas sejenak. Mengistirahatkan punggungnya yang terasa remuk.
Bunyi kriuk menggema dari Perut Aminah. Ia
meremas perutnya yang kelaparan. Sejak pagi belum ada satu butir nasi pun yang
masuk ke mulutnya. Hanya air putih yang ia teguk -hasil minta kepada pemilik
tenda yang ia datangi- yang masuk ke kerongkongannya untuk menganjal rasa
lapar.
Aminah memeriksa kantong uangnya. Menuangkan
isinya yang berupa kepingan uang lima ratus dan lembaran seribu yang kumal di
atas roknya. Aminah menghitung hasil mengamennya hari ini.
"Alhamdulillah. Terimakasih atas rezeki-Mu
hari ini, yah, Allah," ucap Aminah penuh syukur. Ia selalu berterimakasih
kepada Allah meski pendapatannya hari ini cuma Rp 12.500,00.
Amir menggeliat lalu perlahan matanya
mengerjap. Ia menguap sekejap dan menoleh ke arah ibunya, Aminah.
"Ibu... lapar," rengek Amir dengan
suara mungilnya. Airmata jatuh membasahi pipi mulusnya menahan lapar.
Aminah tertegun melihat buah hatinya menangis.
Kristal beningnya ikut retak. Butir airmata mencuat di pelupuk matanya. Hatinya
terasa perih melihat penderitaan yang sudah dialami anaknya.
"Sayang, kita akan cari makanan sekarang.
Jangan menangis, yah." bujuk Aminah.
Amir mengangguk sambil sesegukan. Telapak
tangan kecilnya mengusap airmata. Aminah kembali menggendong Amir. Dengan
langkah yang mulai lemah, Aminah membawa buah hatinya ke tenda makan terdekat.
Sesampainya di tenda makan, Aminah segera
memesan sepiring nasi dan tempe goreng sebagai lauknya. Ia menyuapkan nasi ke
mulut mungil buah hatinya. Amir yang tengah lapar dengan lahap mengunyah
makanan yang masuk ke mulutnya.
"Ibu tidak ikut makan?" tanya Amir
dengan mulut terisi ketika melihat Aminah tidak ikut menyuap nasi.
"Ibu belum lapar. Sekarang kamu dulu yang
makan. Amir lapar kan? Ayo makan lagi agar cepat besar!" jawab Aminah
kembali menyuapkan buah hatinya. Amir mengangguk lalu menyambut suapan ibunya.
Binar matanya ceria setiap mengunyah.
Maafkan ibu, Nak. Ibu belum bisa
membahagiakanmu ucap aminah tertahan. Airmatanya kembali bergulir melihat wajah
Amir yang polos.
Ah... Seharusnya kamu tidak mengalami
penderitaan seperti ini, Nak.
***
Di sebuah rumah dengan dinding papan yang
kropos dimakan rayap, Aminah tinggal. Ia tengah menunaikan kewajibannya sebagai
hamba. Sujud tafakur mengadu nasib kepada pemilik-Nya. Di sampingnya, Amir
tertidur lelap berlapis karton. Di tidurnya, bibir mungil Amir masih sempat
tersenyum.
"Ya Allah, berikanlah hamba kekuatan untuk
membahagiakan anak hamba. Berikan kami ketabahan menjalani kehidupan ini,"
lirih Aminah dalam doanya. Isak tangis terdengar di sela-sela pengaduannya.
Bola beningnya pecah, mengantarkan butir-butir airmata.
Begitulah Aminah. Setiap malam ia tak pernah
lupa menjumpai junjungannya dalam sujud malam. Baginya, kepada pencipta-Nyalah
tempat terbaik untuk mengadu. Tempat yang selalu memberikanmya kekuatan lahir
batin.
Tiba-tiba pintu diketuk kasar. Suara serak
memanggil Aminah. Itu suara Ruslan. Suami Aminah dan Bapak oleh Amir. Aminah
segera menyudahi pengaduannya dan beranjak untuk membukakan pintu.
"Lama kali kau bukakan!" bentak
Ruslan. Mata merahnya menatap tajam Aminah.
"Tadi aku shalat, Bang," jawab Aminah
takut-takut.
"Shalat? Apa untung yang kau dapatkan dari
shalat?"
Aminah bungkam. Bukan tak bisa, tapi tak mau
menjawab. Ruslan mendorong tubuh Aminah dengan kasar. Aminah mengurut dada
menahan perasaannya atas sikap Ruslan.
Ruslan melangkah sempoyongan. Mulutnya tak
berhenti merancau tak jelas. Aroma bir menyeruak dari napasnya.
"Abang jangan mabuk terus," kata
Aminah membantu Ruslan berjalan.
Ruslan mendelik tajam pada Aminah. Mata
merahnya siap melumat. Tanpa disadari, sebuah tamparan mendarat di pipi pucat
Aminah.
"Kau tak perlu mengatur hidupku!"
bentak Ruslan. Meski bukan yang pertama, Aminah tetap terlonjak mendapat
bentakan kasar suaminya.
"Mending kau urus dirimu yang miskin
itu!"
Ruslan menjatuhkan tubuhnya di dipan kayu. Tak
selang beberapa lama, suara dengkuran terdengar dari mulutnya. Amirah meluruh
dengan rasa sakit di hatinya.
"Ya Allah... sadarkanlah suami
hamba."
Tangisan itu pecah juga. Rasa sakit di hati
Aminah meledak juga dalam rintihan dan uraian airmata. Malam senyap menjadi
saksi hati seorang wanita yang terluka.
"Ibu..." panggil Amir terjaga.
Aminah beranjak mendekati Amir. Mengusap rambut
buah hatinya. Beberapa tetes airmata Aminah menitik dan mengecap pipi Amir.
"Ibu kenapa?" tanya Amir polos.
Jemari mungilnya mengusap pipi Aminah yang basah.
Aminah memeluk Amir erat. Menenggelamkan buah
hatinya dalam rengkuhannya. Berharap dengan cara ini dapat meredam tangisannya.
Rasa sakit di hatinya.
"Ibu baik-baik saja, Sayang," jawab
Aminah mengecup puncak kepala anaknya. Aminah mengusap airmatanya.
Aku harus kuat. Ini semua demi Amir tekad Aminah
***
"Ibu...." rengek Amir lirih.
"Iya, Sayang," teriak Aminah dari
luar.
Siang itu, Aminah masih di rumah. Ia sedang
mencuci di luar. Sementara Amir tiduran di dalam.
Aminah mengusap keringat di dahinya. Terik
matahari begitu panas. Memanggang tanpa ampun. Matahari seolah tengah angkuh
menunjukkan kuasanya.
"Ibu...!" rengek Amir semakin keras.
Aminah menyudahi cuciannya, dan beranjak
menghampiri Amir.
"Ada apa, sayang?" tanya Aminah.
Dengan lembut, diusapnya wajah sang buah hati.
Alangkah terkejutnya Aminah ketika mendapati tubuh Amir begitu panas.
"Kamu panas, sayang," kata Aminah
panik.
Di peluknya Amir. Buah hatinya itu masih terus
merengek. Aminah semakin erat mendekap Amir. Hati Amirah rasa teriris mendengar
tangisan Amir.
Tiba-tiba Amir muntah. Bukan sekali tapi
berkali-kali. Aminah menangis melihat buah hatinya. Panik semakin merajamnya.
"Aku harus membawa Amir ke dokter."
Aminah mengendong Amir. Di ambilnya tabungan
yang selama ini dia simpan. Sejenak ia terdiam menyadari tabungannya sedikit.
Namun, rengekan Amir kembali menyentaknya sadar.
"Semoga uang ini cukup," harap Aminah
memasukkan tabungannya ke dalam saku bajunya.
Tanpa buang waktu Aminah segera berlari.
Kakinya telanjang. Tak ia pedulikan panas jalanan yang memanggang kakinya. Di
benaknya sekarang hanya Amir. Keselamatan Amir. Apapun akan ia tempuh demi buah
hatinya. Seorang Ibu harus berkorban demi anaknya. Itulah yang sedang Aminah
tunjukan.
Peluh makin membasahi tubuh Aminah. Rumah sakit
sudah terlihat.
"Sayang, rumah sakitnya sudah dekat. Kamu
akan sembuh," ucap Aminah lirih. Kaki kurusnya terus berlari.
***
Aminah berlari menyusuri koridor rumah sakit.
Jantungnya seakan siap berhenti berdetak. Sekujur wajahnya memucat dilanda
kepanikan. Pikirannya kalut. Beberapa kali, ia nyaris menabrak perawat dan
pasien lain yang datang dari arah berlawanan. Di benaknya penuh dengan Amir.
Aminah terus saja berlari. Napasnya tersengal.
Tak beraturan. Dadanya dipenuhi oleh kecemasan.
"Sus, tolong anak saya," pinta Aminah
memelas sesampainya di depan ruang antri.
"Sabar, Bu. Ibu antri dulu," jawab
Suster berwajah angkuh itu cuek.
"Sus, tolong anak saya segera," desak
Aminah.
Suster itu diam seolah tak mendengar. Ia sibuk
mengoreskan pena di atas buku yang Aminah tidak tahu itu buku apa.
"Sus, anak saya sakit. Tolong panggilkan
dokter!" bentak Aminah. Tubuh Amir yang menggigil semakin membuatnya
kalut. Berpasang-pasang mata melihat ke arahnya.
Namun, suster itu cuma menatapnya tajam.
Menyadari dirinya tak ditanggapi, Aminah kembali berlari. Menerobos masuk
ruangan dokter. Ia tak peduli dengan teriakan suster.
"Dok, tolong anak saya segera," pinta
Aminah panik.
Di dalam ruangan masih ada pasien. Dokter dan
pasien itu menoleh. Melihat tubuh Amir yang mengigil, dokter beringsut dari
duduknya dan menyuruh Aminah membaringkan Amir di ranjang. Dokter mulai
memeriksa kondisi Amir.
Dinding-dinding putih itu seakan menghimpit
Aminah. Aroma obat-obatan tercium kental. menyesakkan dada.
"Bagaimana anak saya, dok?" tanya
Aminah panik. Wajahnya makin pucat.
"Anak Ibu terkena demam berdarah. Ini
harus segera ditangani intensif. Kalau terlambat, nyawa anak ibu bisa tidak
tertolong."
Batu besar seolah menghujam tubuh Aminah.
Membuatnya hancur remuk redam. Amir akan meninggal? Itu tidak boleh terjadi
bisik Aminah.
"Tolong selamatkan anak saya, dok."
"Sekarang Ibu lengkapi dulu
administrasinya."
Administrasi? Ya allah. Apa yang harus
kulakukan?
"Baik, dok, saya mohon selamatkan anak
saya."
Dokter mengangguk. Aminah menatap wajah Amir
yang seputih Kapas.
Ibu akan selamatkanmu, Nak.
Aminah segera berlari menuju loket pembayaran
Administrasi.
***
Dua ratus lima puluh ribu rupiah.
jumlah uang itu terus membayang di benak
Aminah. Yah, ia harus memiliki uang dalam jumlah sebanyak itu sekarang juga.
Semua demi Amir. Keselamatan Amir.
Sudah hampir seharian dia mengamen dari tenda
ke tenda. Namun, dua puluh ribu rupiah pun belum juga terkumpul.. Penat tak
lagi di hiraukannya. Hanya wajah Amir yang selalu mengisi rongga otaknya.
Aminah memandang gumpalan uang di tangannya.
Uang hasil mengamennya dan tabungannya selama ini. masih sangat jauh dari
jumlah uang yang harus ia bayarkan untuk administrasi. Aminah meghela napas.
Apa yang harus ku lakukan? lirih Aminah.
Di tengah pusat pembelanjaan. Aminah bersandar
pada dinding toko yang menjual nasi. Matanya kian kemari memperhatikan orang
yang lalu-lalang. Beberapa menit yang lalu terbersit cara untuk mendapatkan
uang yang mudah. Meski beberapa kali hatinya menolak melakukan hal itu. Namun,
keadaan semakin mendesaknya.
Mencopet. Yah, itulah cara mudah mendapatkan
uang saat ini. Aminah tahu itu perbuatan keji. Tapi mau bagaimana lagi? Ia
harus mendapatkan uang sekarang juga atau nyawa anaknya akan melayang.
Seorang wanita muda turun dari kijang. Tangan
kirinya menjinjing tas kulit yang terlihat mewah. Beberapa gelang emas
melingkar indah di pergelangannya. Mengundang iri wanita lain.
Mata Aminah memperhatikan gerak-gerik wanita
itu. Inilah kesempatan baginya. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
Amir, tunggu ibu ucapnya dalam hati.
Dengan langkah cepat Aminah mengikuti langkah
wanita itu dari belakang. Matanya tak henti memperhatikan tas yang menjadi
sasarannya. Setelah keadaaan merasa cukup aman. Ia segera bertindak.
Maafkan aku yah, Allah. Semua ini demi anakku.
Aminah menyentak tas. Wanita itu terkejut.
Berusaha menarik kembali tasnya. Namun Aminah tak pantang menyerah. Sekali
sentak lagi, tas itu terlepas dari pegangan wanita itu. Dia segera berlari.
“Toloooong copeeet!”
Masih sempat terdengar oleh Aminah teriakan
histeris minta tolong dari korbannya. Tapi Aminah terus memacu langkahnya. Dia
sudah berhasil. Sebentuk senyum tercetak di bibirnya dalamusaha perlariannya.
Peluh mulai merembas membasahi wajahanya.
Aminah menoleh ke belakang. Alangkah terkejut
Aminah. Beberapa meter di belakangnya, beberapa orang mengejarnya. Rasa panik
mulai mendera Aminah. Ia semakin memburu langkah kaikinya. Ia harus lolos.
Detak jantung memacu cepat. Darah semakin
bergesir. Panik itu semakin merajamnya. Ia masih terus berlari. Karena panik,
Aminah tidak mempedulikan keadaan jalan raya yang padat. Ia menyebrang begitu
saja.
Ciiiiiiiiiittt....!!
Decit ban yang direm mendadak mengejutkan
Aminah. Ia tidak sempat mengelak lagi. Seketika tubuhnya dihantam keras oleh
mesin berjalan itu. Tubuhnya melambung dan membentur aspal yang panas.
Cairan segar berwarnah merah mengalir derah
dari kepala Aminah. Napasnya tersengal. Dari mulut menyembur darah. Bayangan
wajah Amir kembali memenuhi rongga kepalanya. Senyum, tawa, dan wajah kesakitan
Amir terus berputar seperti rekaman video.
Maafkan, Ibu, Nak. Maafkan bisik Aminah lirih.
Butiran Airmata merebak dari matanya.
Tubuh Aminah mengejang. Jantungnya berhenti
berdetak. Napasnya telah menghilang.
Orang-orang mulai mengerubungi tubuh mainah
yang bersimbah darah dan tak bernyawa lagi.
Di kamar kecil berdinding putih. Amir terus
merengek. Semakin lama rengekannya semakin melambat. Hingga tak lagi terdengar.
Dokter segera memeriksanya. Wajah Amir pucat. Deru napas tak lagi terdengar.
Jantungnya berhenti. Semua berakhir.
“Innalilillahi wainnailahi rojiun.” ucap dokter
menutuopi wajah Amir dengan kain putih.
***
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar